Burullus
Setelah puas mengabadikan berbagaisisi di muara Dimyat, kami segera bergegas mencari-tahu bagaimana caranya
menuju Rashid, sebuah kota
kecil di provinsi Buhayra. Sudah entah berapa orang kami tanya, tak ada satupun
yang memberikan jawaban yang tuntas.
FOTO bersama mercusuar aduhai di muara Nil - (cabang Dimyat).
|
Satu jawaban yang menurut kami
paling tepat, “Coba kalian ke terminal terbesar di ujung Dimyat. Pastikan di sana.”
Kami bergegas ke sebuah terminal
besar yang dimaksud. Dua kali berganti angkutan umum benar-benar menguras
tenaga, belum lagi harus kembali bertanya mana angkutan yang bisa mengantarkan
kami ke sebuah terminal besar yang dimaksud.
Azan maghrib berkumandang saat
kami sampai di terminal yang disebut-sebut terbesar se-Dimyat. Ada 2 pilihan saat itu: salat dulu dengan
kaki yang pegal dan perut lapar; atau menyambangi sebuah warung sederhana,
menemui kursi-kursi kosong yang seolah mempersilakan kami dari kejauhan.
Opsi kedua kami pilih dan salat
kami niatkan jamak takhir. Dengan sigap pelayan warung menanyakan apa menu yang
kami pilih, “Ful dengan minyak atau nggak, Bung? Kami ada telur-ceplok, mau?”
FOTO Perjalanan menuju muara Nil di Mantiqot al-Lisan, Ras al-Bar. |
Kentang goreng dan gorengan
falafel (tokmiyah) yang kami tanyakan sudah habis tak tersisa. Yang tersisa
tinggal menu wajib full, timun-wortel fermentasi, tahinah, lalap daun Gargir,
dan telur ceplok yang kepalang asin. Full yang ada di depan kami tampak aneh,
lebih kuning dan cocok sekali di lidah, berbeda dengan yang ada di Kairo.
Begitu juga dengan roti ‘isy. Keduanya sangat berbeda dengan yang ada di
ibukota. Tak satupun dari kami belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya
meski masing-masing dari kami pernah ke beberapa daerah pelosok lain, sebut
saja Luxor, Bani Sueif, Tanta, Mansura.
Kami sudah larut dengan menu yang terhidang penuh di meja. Lalu-lalang orang melirik, menunjuk, berbisik sudah tak mempan bagi kami. Makanan sesederhana itu sudah menjadi sangat istimewa di depan kami yang perutnya sudah meraung-raung sementara langit semakin gelap.
Kami menuju sebuah tenda besar
yang orang-orang menyebutnya terminal Alexandria.
Di bawah tenda sudah berjejer angkutan yang siap mengantar kami ke Rashid
dengan jurusan Alexandria.
Jadi, tidak ada angkutan ke Rashid. Adanya ke Alexandria dan kami akan diturunkan di tepi
Rashid.
Sudah hampir 2 jam kami di
perjalanan. Tak ada tanda-tanda kami akan sampai Rashid. Malahan, kami sempat
dikagetkan dengan pemandangan yang aneh.
“Lho? Ini di mana kita? Kok kanan
kiri semuanya laut??”, tanya Arsyad.
Kami baru sadar setelah kawan
kami Adam membuka GPS-nya. Ternyata kami sedang disuguhi pemandangan danau
Burullus di sisi kiri dan laut Mediterania di sisi kanan. Sayangnya,
keindahannya tertutup gelapnya malam. Hanya ada pantulan sendu rembulan di
garis horison.
“Hei, bung! Hei kalian yang di
belakang tadi minta turun di Rashid. Kalian mau turun di mana?”, tanya Pak
Sopir dari depan.
PETA Jelejah Dua Muara Nil: Damietta - Rosetta.
|
“Iya, Pak. Turun di Rashid.
Turunkan di ‘mathaf’ (museum) ya pak..”, jawabku.
“Apa? Turun di mana?”, tanya Pak
Sopir lagi. Beberapa pemuda Mesir yang duduk di samping kami ikut membantu Pak
Sopir mendengarkan. Suaraku dihujani suara kerikil perbaikan jalan sebelum
menyeberangi jembatan sungai Nil cabang Rashid.
“Turun ‘mathaf’, Pak.. Mathaf
Rashid! Yang samping bank itu lho!”, aku jawab seingatku. Seingatku, Museum
Rashid memang dekat dengan bank.
Pemuda di samping kami mencoba
menyampaikan jawabanku, “Itu pak.. Dia bilang turun ‘matham’ (rumah makan), dia
bilang rumah makan.”
Gila! Aku sudah sangat jelas
sekali melafalkan “m-a-t-h-a-f”. Pemuda itu baru menyadari setelah aku ulang,
bukan “matham” (rumah makan) melainkan “mathaf” (museum). Pak Sopir mengangguk
tanda mengiyakan.
Kisah selanjutnya di Paman Abdul Moneim..
Write a comment
Post a Comment