“Sesiapa yang
hidup, ia melihat banyak. Sesiapa yang berjalan, ia lebih banyak melihat.”
—Pepatah Mesir.
Di akhir libur panjang, aku dan
empat kawan sepakat untuk pergi menjelajah ke sebuah kota kecil bersejarah di teras Mesir yang
menghadap Mediterania; Pesisir Rashid Yang Terjaga (Tsaghr Rashid
al-Mahrusah). Satu dari dua kota
bermuaranya sungai Nil ke laut Mediterania (Laut Tengah). Sebab dirasa kurang
jika hanya satu muara, kami putuskan jelajah kali ini Jelajah 2 Muara
Sungai-Sebelas-Negara; sungai Nil. Salah satu sungai terpanjang di dunia ini
mempunyai 2 muara di kota
yang berbeda.
FOTO Selfi berujung panik. :D
|
Sehari sebelum berangkat, kami
mencari-tahu jalur kereta yang bisa kami tempuh dari Kairo. Siang itu, kami
pergi ke loket Customer Service di Mahattet Misr, kawasan Ramses. Sampailah
kami pada sebuah loket, dari balik jendela kami bisa melihat sebuah ruangan
yang ramai oleh beberapa orang yang kami yakini merekalah pegawai.
“Pak, dari sini adakah kereta
yang bertolak ke Rashid?”, tanyaku.
Bapak yang duduknya menghadap ke
kami lekas menoleh ke seorang di balik meja kerja, “Bung, adakah kereta Rashid dari
sini? Ke Aleksandria dulu baru bisa lanjut ke Rashid kan ya?”
“Rashid? Rashid kan ikut provinsi Buhayra ya? Naik kereta,
turun di Damanhour. Lalu kalian nyambung pakai angkutan ke Rashid.”, bapak di
depan meja tadi memandang kami.
“Adakah opsi lain, pak? Kami
membaca di sebuah forum Mesir, Rashid bisa dicapai dengan kereta.”
“Rashid itu tidak masuk jalur
kereta! Kalian mau naik dari mana? Turunlah Damanhour seperti yang aku bilang
tadi.”, jawab bapak yang asyik-masyuk menyusun dokumennya.
Dirasa cukup, kami berterimakasih
dan segera memantapkan pilihan Dimyatlah yang pertama. Tentu supaya Rashid
menjadi kota terakhir hingga bisa maksimal
menjelajah kota
itu.
Kereta-api Mesir Tak Kenal
Telat
Pukul 6 pagi aku masih sibuk
dengan barang bawaan yang malamnya belum aku masukkan ke tas. Semua sepakat 30
menit sebelum jadwal kereta berangkat kami harus sudah berada di kawasan
Ramses. Tanpa dinyana, pukul 7.15 pagi aku dan Khalil masih cemas berdiri di
depan masjid Azhar, lumayan jauh dari Ramses padahal kereta berangkat pukul
7.35.
“Ini Arsyad mana ini.. Adam juga
belum kelihatan. Wah! Mereka tak lihat jadwal keberangkatan atau gimana itu
sih?! Tiket di Arsyad semua lagi..”, kataku gelisah mengharap munculnya dua
kawan yang belum juga datang. Khalil ikut gelisah dengan kalimat khasnya
“itulaaaah”.
Aku putuskan untuk tidak menunggu lama lagi. Kami berdua lekas menuju Ramses secepat mungkin. Namun, gelisah masih saja membuntut sebab Arsyad sama sekali belum bisa dihubungi. Kami hanya ingin tahu kereta nomer berapa dan kursi berapa saja hingga kami bisa lebih dulu tahu tempatnya. Pukul 7.30 pagi Adam baru datang menyusul sampai di Ramses. Sementara Maulana, kawan kami satu lagi sudah memberi kabar bahwa ia sudah dekat Ramses dan sebentar lagi datang. Arsyad belum juga mengangkat telponnya.
“Beuh! Kamu ke mana saja, Syad!
Ini sudah 7.38 . Kita telat 3 menit! Maulana mana? Belum sampai juga?! Alamak!
Mampuslah kita!”, kataku panik.
Selang beberapa saat setelah
sekumpulan orang berlarian masuk, tampak Maulana datang dengan tergesa-gesa
menghampiri kami di dekat kotak miniatur stasiun.
“Ayooo, Mol! Cepetan! Kita telat
lebih dari 3 menit!”
Kami berlima panik. Namun anehnya
kami berlima sepakat untuk foto selfi alakadarnya tepat membelakangi arsitektur
stasiun yang aduhai itu. Selfi sebelum berangkat, begitulah tajuknya.
Dua kali ambil gambar, kami berlima
lari sambil membawa tiket masing-masing. Misinya: mencari jalur berapa dan
gerbong yang mana yang akan kami naiki.
Setelah lebih dari 3 orang yang
kami tanya, tak ada satupun yang memberi jawaban yang mengantarkan kami pada
gerbong. Waktu sudah menunjukkan pukul 7.40 pagi. Sampailah pada pertemuan kami
dengan seorang masinis yang sedang bersantai di jendela lokomotif.
“Pak, kereta yang ada di tiket
ini di jalur berapa?”, tanyaku.
“Ini 7.30 ya?!? Cepat sana! Larii…ambil tiket ini! Kamu ke jalur 6 cepetan! Lariiii…lariii, Bung! Kau akan ketinggalan kereta kalau sampai tak lekas!”, ucapan akhirnya sudah tak kami hiraukan. Kami lari berhamburan ke jalur 6.
“Alhamdulillah, masih ada
gerbongnya!”, ucap salah satu dari kami.
FOTO Kereta kelas ekonomi | by Qalam Eka Maulana. |
Setelah kami masuk ke gerbong,
ada yang aneh. Apa benar ini gerbong kereta AC? Kami tanyakan pada salah
seorang petugas yang ada di pos jalur, “Pak, apakah benar ini kereta ke
Dimyat?”
Ia mengiyakan sambil mencoba
melihat tiket kami, “Iya, ini kereta akan berangkat ke Dimyat. Waaaaaah! Kalau
kereta di tiket ini yang kalian maksud sudah berangkat dari tadi! Sudah sampai
Benha aku yakin! Kereta yang ada di tiket itu kereta AC, cepat! Sudah sampai
Benha lah! Kalian kenapa bisa telat itu lho?!”
Suasana panik, senang, kecewa
campur aduk. Lalu harus bagaimana lagi? Tiket yang kami beli hilang? Gosong?
Sudah rasanya seperti kami tak percaya sedang ada di Kairo sekarang ini.
“Tenang! Naiklah kereta ini.. Ini
juga ke Dimyat. Kalian tak usah beli tiket lagi. Pakailah tiket itu dan bilang
kalian telat. Kondektur akan maklum.”, pesan bapak di pos jaga jalur 6.
Suasana hati sudah tak enak.
Sesuai kesepakatan, Arsyad dan Maulana kami minta menanyakan kepastian tiket;
apakah benar seperti yang dinyatakan pegawa pos jaga? Mereka berdua segera
menuju loket pegawai, menanyakan status tiket yang kami beli.
Benar saja. Kami tak harus beli
tiket lagi. Hanya saja kereta yang akan mengantar kami ke Dimyat adalah kereta
ekonomi, kereta yang tak kalah cepat dengan keledai-bujang! Hampir di setiap
stasiun, kereta berhenti malas-malasan! Untuk beli minum ke kios stasiun pun
dengan santai melenggang tanpa takut tertinggal.
Dua hal yang baru kami sadari:
pertama, tak seperti angkutan umum lain kereta Mesir tak mengenal telat; kedua,
tiket kereta AC ternyata bisa digunakan untuk kereta ekonomi.
Polisi dan “Bapak Berjubah” di
Kereta
Kami menunggu lebih dari satu jam
untuk bisa berangkat. Kereta ekonomi tadi berangkat pukul 9.15 pagi.
Kami duduk di sisi kanan dan kiri
gerbong. Aku bersama Khalil duduk satu kelompok tepat di belakang kursi-kursi yang
sudah dipasang papan “dilarang duduk” oleh Polisi Kereta.
FOTO Di tengah perjalanan. | by me. |
Di tengah perjalanan, entah
setelah stasiun ke berapa, ada 2 orang duduk di kursi kosong yang ada di depan
kami. Satu mengenakan baju resmi sama seperti sekumpulan polisi di “nuqthoh”
(pos), satu lagi aku yakin dia orang desa hendak ke entah mana. Bagaimana
tidak? Pakaiannya jubah cokelat sama seperti yang biasa dipakai penjual sayur
langganan di Pasar Azhar.
Agak lama setelah duduk di kursi
depan kami, bapak berjubah itu menoleh menghadap ke kursi depan kami, ke
“nuqthoh” yang ramai diisi polisi-polisi kereta berseragam.
Tak dinyana, salah seorang polisi
yang ada di “nuqthoh” menyapanya, “Bung, kamu punya nomer Ahmad? Mana hapemu,
baterainya masih ada kan?
Aku pinjam sebentar..”
Bapak berjubah cokelat tadi
merogoh sakunya, meminjamkan handphone pada seorang yang berseragam tadi.
Aku mulai tak enak hati. Kami
yakin bapak berjubah di depan kami ini bukan orang desa seperti yang dikira.
Benar saja, sekira 10 menitan setelah percakapan itu, dia meninggalkan kursi di
depan kami. Berjalan ke arah gerbong belakang bersama seorang polisi kereta
berseragam.
Lama setelah itu, aku baru
berbisik-bisik ke kawanku Khalil. Bercerita tentang bapak berjubah yang tidak
ia sadari tadi. Alamak! Ada
juga ya polisi “berjubah” menyaru penumpang kereta di Mesir ini!
Kisah selanjutnya di Desa Semangka..
Write a comment
Post a Comment