(telah dimuat di Harian Radar Mojokerto, Minggu, 3 Maret 2013)
“Ada apa, Bud? Tak seperti biasanya kau lebih banyak
diam hari ini?”, kata teman sekamarku Leman.
“Ah, perasaanmu saja, Man. Aku ya seperti ini kan tiap hari? Aku sehat dan segar gini kok..”, sahutku.
Mungkin benar apa yang dibilang Leman. Pria yang bernama lengkap Suleman, teman sekamarku semenjak semester awal di bangku perkuliahanku memang memunyai kepekaan lebih dari temanku yang lain. Iya, karena setiap hari kami bercengkerama dan bertukar kisah di beberapa malam.
Aku tak pernah seperti ini pada teman baikku itu. Setiap ada masalah, aku bercerita padanya. Begitu juga ia. Namun, kali ini aku memilih diam untuk menutupi masalahku ini. Aku tak mau seorang pun tahu masalah apa yang aku hadapi kali ini. Aku ingin sendiri. Aku ingin hanya aku yang tahu dan hanya aku yang bersedih.
***
“Nang, bapak harap kamu tidak ada benci pada ibumu, walau secuil dan kamu simpan dalam-dalam di hati.. Bapak tak mau itu, ya? Ini semua memang salah bapak. Bapak terlalu rendah jika dibanding ibumu. Terlalu goblok.”, kata bapak di perjalanan mengantarku ke SD di samping balai desa.
“Budi sekolah yang rajin ya.. Ngajinya diingat-ingat, diterapkan satu persatu di hari-harimu,”, tutur ibu di suatu ngaji.
Sore itu, aku bertanya pada Leman yang sedari tadi asyik membaca sebuah novel.
“Ada apa kamu tanya kancil, Bud?”, tanya Leman saat hendak mengambil novelnya kembali.
Siang itu, kesedihanku benar-benar memuncak. Sudah tak tertahan rasanya. Apalagi, ditambah banyak tanda-tanya yang Leman lemparkan padaku. Aku tahu Leman bertanya karena ia berusaha membantuku dan berusaha menarikku dalam kubangan sedih sendiri.
Aku tak kuasa lagi menahan untuk tidak bercerita. Aku ceritakan semua pada Leman. Ia tercengang, diam, dan juga tak tahu harus memberi saran apa pada temannya ini.
“Bud, jangan kau kira hanya kau yang sedih dan kau sendiri yang punya masalah seperti itu!”, ia membentak keras dan ucapannya menarikku pada perhatian.
Lelaki tidaklah menangis kecuali
untuk Tuhan dan ibunya. Kalimat ini menjadi harta karun lebih mahal dari apapun
yang terbilang. Bapak hanya memberi kalimat ini di saat umurku genap 7 tahun.
Meski sudah 11 tahun yang lalu, kalimat yang menjadi satu-satunya pengingat
wajah bapak ini tidak pernah terlupa. Terkadang beriringan muncul saat
lamunanku mulai merajai diri, juga setiap berdoa setelah salat. Aku
merindukanmu, pak..
“Ah, perasaanmu saja, Man. Aku ya seperti ini kan tiap hari? Aku sehat dan segar gini kok..”, sahutku.
Mungkin benar apa yang dibilang Leman. Pria yang bernama lengkap Suleman, teman sekamarku semenjak semester awal di bangku perkuliahanku memang memunyai kepekaan lebih dari temanku yang lain. Iya, karena setiap hari kami bercengkerama dan bertukar kisah di beberapa malam.
Aku tak pernah seperti ini pada teman baikku itu. Setiap ada masalah, aku bercerita padanya. Begitu juga ia. Namun, kali ini aku memilih diam untuk menutupi masalahku ini. Aku tak mau seorang pun tahu masalah apa yang aku hadapi kali ini. Aku ingin sendiri. Aku ingin hanya aku yang tahu dan hanya aku yang bersedih.
***
“Mbokyo sampeyan kerja yang lebih banyak
dapat uang, pak. Tiap hari kok lawuh tempe saja. Aku yang masak saja bosan.
Lha bagaimana anakmu itu?”, kata ibu dengan nada kesal di suatu subuh.
Ibuku memang tidak seperti ibu yang lain. Ia cerdas, berprestasi, dan memiliki segudang pengalaman di waktu sekolah. Namun, ia juga memiliki sikap keras, tegas bercampur sedikit angkuh. Aku hanya bisa berkata ‘mungkin’. Mungkin, karena bapak yang pendidikannya lebih rendah dari ibu. Sehingga, meski sudah 8 tahun pernikahan berjalan, yang aku dengar tiap hari tidak berbeda dengan hari kemarin.
Untungnya, bapak memiliki sikap rendah yang menjadi penahan marah ibu. Aku tak tahu apa yang terjadi jika sikap bapak sama seperti ibu. Pedang-tangkas dengan pedang-trengginas akan saling menebas. Syukurlah, bapakku rendah hati dan lebih banyak menerima dengan dada melapang sehingga adakalanya ibu tersenyum meski bapak harus mandi keringat di perusahaan meubel dari pagi hingga hampir melewati senja.
Ibuku memang tidak seperti ibu yang lain. Ia cerdas, berprestasi, dan memiliki segudang pengalaman di waktu sekolah. Namun, ia juga memiliki sikap keras, tegas bercampur sedikit angkuh. Aku hanya bisa berkata ‘mungkin’. Mungkin, karena bapak yang pendidikannya lebih rendah dari ibu. Sehingga, meski sudah 8 tahun pernikahan berjalan, yang aku dengar tiap hari tidak berbeda dengan hari kemarin.
Untungnya, bapak memiliki sikap rendah yang menjadi penahan marah ibu. Aku tak tahu apa yang terjadi jika sikap bapak sama seperti ibu. Pedang-tangkas dengan pedang-trengginas akan saling menebas. Syukurlah, bapakku rendah hati dan lebih banyak menerima dengan dada melapang sehingga adakalanya ibu tersenyum meski bapak harus mandi keringat di perusahaan meubel dari pagi hingga hampir melewati senja.
“Nang, bapak harap kamu tidak ada benci pada ibumu, walau secuil dan kamu simpan dalam-dalam di hati.. Bapak tak mau itu, ya? Ini semua memang salah bapak. Bapak terlalu rendah jika dibanding ibumu. Terlalu goblok.”, kata bapak di perjalanan mengantarku ke SD di samping balai desa.
“Kenapa bapak bilang seperti itu?”, tanyaku dengan
nada tidak tahu dan tidak ingin bapak berkata seperti itu.
“Sudahlah, kamu belajar yang rajin. Raih prestasi,
sekolah sing dhuwur, dan jangan seperti bapakmu.”, pesan bapak sembari
menghentikan langkah dan menatap dalam pada kedua mataku.
Bisa dibilang, aku anak yang aneh. Jika kebanyakan anak seusiaku menjawab ‘ibu’ saat ditanya siapa yang paling kamu sayangi, aku menjawab lain. Tuhan. Aku menjawab ‘Tuhan’. Hal itu bukan karena bapak yang melarangku menjawab ‘ibu’ atau karena aku melihat sikap ibu pada bapak. Entah. Aku lebih memilih kata ‘Tuhan’ dibanding keduanya. Aku melihat kasih sayang Tuhan yang benar-benar sempurna sejak aku mulai dikenalkan dengan Tuhan oleh ibu. Ibu yang mengajariku ngaji setiap malam. Ibu yang mengajariku membuka mata selebar-lebarnya pada dunia ini. Begitu juga karakterku, ibulah yang membangun sedikit demi sedikit dengan sesekali mengingatkanku saat ada salah.
Bisa dibilang, aku anak yang aneh. Jika kebanyakan anak seusiaku menjawab ‘ibu’ saat ditanya siapa yang paling kamu sayangi, aku menjawab lain. Tuhan. Aku menjawab ‘Tuhan’. Hal itu bukan karena bapak yang melarangku menjawab ‘ibu’ atau karena aku melihat sikap ibu pada bapak. Entah. Aku lebih memilih kata ‘Tuhan’ dibanding keduanya. Aku melihat kasih sayang Tuhan yang benar-benar sempurna sejak aku mulai dikenalkan dengan Tuhan oleh ibu. Ibu yang mengajariku ngaji setiap malam. Ibu yang mengajariku membuka mata selebar-lebarnya pada dunia ini. Begitu juga karakterku, ibulah yang membangun sedikit demi sedikit dengan sesekali mengingatkanku saat ada salah.
“Budi sekolah yang rajin ya.. Ngajinya diingat-ingat, diterapkan satu persatu di hari-harimu,”, tutur ibu di suatu ngaji.
***
Sore itu, aku bertanya pada Leman yang sedari tadi asyik membaca sebuah novel.
“Menurut kamu
gimana, Man, apakah kancil mencuri timun itu karena ibu-kancil dulunya mencuri
timun?”, tanyaku.
“Menurutku sih ndak mungkin lah, itu dasar si
kancil saja yang ndak tau norma. Kalau ibu-kancil masih hidup, pasti ia
dijewer kanan-kiri, Bud.”, jawab Leman sembari menutup novelnya.
“Lantas, apakah kancil bisa cerdik karena ibunya
juga cerdik?”, imbuhku.
“Iya.. Aku jawab iya bukan berarti aku menafikan
kecerdikan bapak-kancil lho ya.. hehe”, jawab Leman terkekeh.
“Benar juga, bapak-kancil juga seekor kancil ya,
Man.. haha”, kataku mengikuti tawanya yang menggema di kamar kos ukuran 4x3
meter.
Leman tidak menanyakan kenapa aku bertanya tentang kancil padanya. Itu yang aku harap. Kalau sampai ia tanya menelisik, aku tak akan mau membuka apa yang ada di pikiranku.
Leman tidak menanyakan kenapa aku bertanya tentang kancil padanya. Itu yang aku harap. Kalau sampai ia tanya menelisik, aku tak akan mau membuka apa yang ada di pikiranku.
“Ada apa kamu tanya kancil, Bud?”, tanya Leman saat hendak mengambil novelnya kembali.
“Ora, ora opo-opo, Man. Cuma ingin tanya
saja.”, jawabku sedikit kaget karena ia ternyata menanyakannya.
“Tenan’e, rek.. Masak tiba-tiba tanya seperti
itu?”, kata Leman penuh tanya.
“Iya, aku sekadar ingin tahu apa jawabanmu,
Maaan..”, ucapku dengan nada meyakinkan.
Leman kembali dalam dunianya, membaca novel. Hobinya selain nonton film memang membaca novel. Tak ayal, rak bukunya dipenuhi berbagai novel dengan bermacam tebal. Yang unik, ia hapal penulis-penulis dengan sederet karya mereka, juga sutradara dengan filmnya. Entah berapa banyak yang ia simpan di dalam memori kepalanya. Untungnya, keluarganya termasuk kategori mampu untuk menyokong hobinya itu. Aku bangga memunyai teman sekamar seperti Leman. Meskipun, aku tak seperti dia, paling tidak aku bisa mengikuti perkembangan novel dan film yang ada.
Leman kembali dalam dunianya, membaca novel. Hobinya selain nonton film memang membaca novel. Tak ayal, rak bukunya dipenuhi berbagai novel dengan bermacam tebal. Yang unik, ia hapal penulis-penulis dengan sederet karya mereka, juga sutradara dengan filmnya. Entah berapa banyak yang ia simpan di dalam memori kepalanya. Untungnya, keluarganya termasuk kategori mampu untuk menyokong hobinya itu. Aku bangga memunyai teman sekamar seperti Leman. Meskipun, aku tak seperti dia, paling tidak aku bisa mengikuti perkembangan novel dan film yang ada.
***
Malam ini, ada pesan masuk dari
bapak di desa nun jauh, 10 jam perjalanan dengan kereta karena memang kuliahku
di tetangga propinsi, tepatnya di Surabaya.
Dalam pesannya, bapak memberi kabar
bahwa ibu pergi ke rumah kakek. Ibu pergi dengan menangis dan bersumpah akan
membawa bapak ke pengadilan agama. Bapak ingin agar aku tidak usah pulang.
Tapi, dalam hatiku berkecamuk antara pulang, melanggar perintah bapak dan tidak
pulang, membiarkan semua terjadi di rumah begitu saja.
Aku tak habis pikir, pernikahan
yang hanya selisih setahun denganku bisa semudah itu tertiup badai dan besar
kemungkinan akan hilang. Hilang entah pada suatu apa kandas dan memilih jalan
cerita masing-masing. Sedangkan, aku? Aku harus bagaimana?
Aku memilih menyendiri, diam, dan
benar apa yang dikata Leman, aku berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Aku masih
termenung dan dalam keadaan titik puncak harus bagaimana yang aku tidak tahu
itu. Diam membuka buku tapi pikiranku sama sekali tidak berada pada apa yang
aku baca hingga larut, larut dalam malam dan aku terlelap dalam sedih yang aku
tahan supaya tidak mencair dengan tangis. Leman memilih keluar entah kemana
semenjak aku membentaknya dan aku bilang aku ingin sendiri
***
Siang itu, kesedihanku benar-benar memuncak. Sudah tak tertahan rasanya. Apalagi, ditambah banyak tanda-tanya yang Leman lemparkan padaku. Aku tahu Leman bertanya karena ia berusaha membantuku dan berusaha menarikku dalam kubangan sedih sendiri.
Aku tak kuasa lagi menahan untuk tidak bercerita. Aku ceritakan semua pada Leman. Ia tercengang, diam, dan juga tak tahu harus memberi saran apa pada temannya ini.
“Bud, jangan kau kira hanya kau yang sedih dan kau sendiri yang punya masalah seperti itu!”, ia membentak keras dan ucapannya menarikku pada perhatian.
“Kamu tahu keluargaku? Keluargaku sudah hancur
semenjak aku SD! Ayahku menikah lagi dan aku tidak tahu kemana ia pergi. Ummiku
pergi jauh dengan suami barunya. Kamu kira aku tidak jauh lebih sedih darimu?!!
Aku dibesarkan oleh keluarga pamanku yang tidak memiliki putra sampai detik
ini.”, sentaknya lagi dengan air mata menggenang dan semenjak itu aku baru
tahu.
Aku belum membuka mata lebar seperti apa yang dipesan ibuku dan aku bersalah pada bapak jika aku terhenti lantas pulang dalam kecewa tanpa prestasi. Aku juga sadar, aku terlalu mendangak ke atas dan jarang melihat ke bawah.[]
Aku belum membuka mata lebar seperti apa yang dipesan ibuku dan aku bersalah pada bapak jika aku terhenti lantas pulang dalam kecewa tanpa prestasi. Aku juga sadar, aku terlalu mendangak ke atas dan jarang melihat ke bawah.[]
Kairo, 6 Pebruari 2013
Mu’hid Rahman
Hari dimana aku lebih memilih menulis daripada
menghadiri kunjungan klise presiden pada
‘calon asrama’ yang sedari dulu tidak pernah lepas dari label ‘calon’..
ceritamu makin keren cak :)
ReplyDeleteaku seneng banget e bacanya :)
SEMANGAAAAAAAAAAAAAAT
Haha, makasih banyak, mba El.. :D
DeleteSaran kritik aku nanti,